Denpasar, insightnusantara.com – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali tengah merancang program insentif bagi keluarga yang menamai anak ketiga dan keempat mereka dengan Nyoman dan Ketut. Langkah ini diambil untuk mempertahankan tradisi penamaan khas Bali, yang semakin jarang digunakan akibat perubahan demografi dan kebijakan keluarga berencana.
Seperti dilansir dari nusabali.com dan kantor berita Antara, Gubernur Bali Wayan Koster mengungkapkan bahwa insentif ini tidak berbentuk uang tunai, melainkan berupa fasilitas di sektor pendidikan dan kesehatan.
"Bentuknya bisa berupa dukungan pendidikan, layanan kesehatan, atau program lainnya yang bermanfaat bagi keluarga. Saat ini masih dalam tahap perumusan,” kata Koster dalam rapat di DPRD Bali, Selasa (4/3/2025).
Ia menekankan bahwa kebijakan ini juga bertujuan mendorong keluarga Hindu Bali untuk memiliki empat anak, tanpa harus menambah istri.
“Kami ingin menghidupkan kembali penggunaan nama Nyoman dan Ketut, sekaligus menjaga keseimbangan demografi Bali. Namun, ini bukan dorongan untuk poligami, melainkan menjaga budaya dalam batas yang wajar,” tegasnya.
Koster menyadari bahwa kebijakan Keluarga Berencana (KB) yang membatasi jumlah anak berkontribusi terhadap berkurangnya penggunaan nama tradisional. Saat ini, banyak keluarga di Bali hanya memiliki dua anak, sehingga nama Putu dan Made lebih umum dibanding Nyoman dan Ketut.
Berdasarkan data Pemprov Bali, jumlah penduduk provinsi ini mencapai 4,4 juta jiwa atau sekitar 1,6 persen dari total penduduk Indonesia. Pertumbuhan penduduk Bali pun tergolong rendah, hanya 0,66 persen per tahun, jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 1,04 persen.
“Jika tren ini terus berlanjut, populasi Bali akan semakin menyusut, dan nama-nama khas kita bisa punah. Kita tidak ingin budaya kita hanya menjadi kenangan di museum,” ujar Koster.
Nama Nyoman dan Ketut memiliki makna filosofis dalam tradisi Hindu Bali. Dalam sistem penamaan tradisional, urutan anak pertama hingga keempat masing-masing disebut Putu (atau Wayan), Made, Nyoman, dan Ketut. Jika nama-nama ini semakin ditinggalkan, dikhawatirkan identitas budaya Bali akan ikut tergerus.
Pemprov Bali masih menyusun mekanisme pemberian insentif, termasuk syarat dan prosedur pendaftarannya. Program ini diharapkan segera diterapkan dan mendapat dukungan luas dari masyarakat.
“Kami ingin langkah ini menjadi bagian dari upaya lebih besar untuk menjaga kekayaan budaya Bali. Jika masyarakat mendukung, maka warisan leluhur kita tetap lestari,” tutup Koster. (zett)
0 Komentar