Breaking News

Mengenal Pemaje dari Tanah Sasak: Filosofi Tajam di Balik Pisau Kecil yang Mengukir Karakter


     Pemaje - Maharakya Lasmianto Dadak | Foto Istimewa

Lombok Utara | insightnusantara.com - Di tengah derasnya arus modernisasi dan hilangnya makna dari simbol-simbol budaya, masyarakat adat Sasak di Lombok Utara tetap menggenggam erat warisan leluhur yang sederhana namun penuh makna: Pemaje — sebilah pisau kecil yang tidak hanya berfungsi sebagai alat kerja, tetapi juga mencerminkan filosofi hidup yang mendalam.

Dulu, Pemaje hadir di setiap sudut aktivitas masyarakat Sasak. Digunakan untuk meraut, menghaluskan, atau melubangi kayu dan bambu, alat ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari laki-laki dewasa. Namun, di balik fungsinya yang kasatmata, tersimpan panduan hidup yang sarat nilai spiritual, etis, dan sosial.


“Pemaje bukan sekadar pisau kecil. Ia adalah pengingat bagaimana manusia seharusnya membentuk dirinya—tajam dalam berpikir, halus dalam bersikap, dan terbuka dalam menerima perbedaan. Itu filosofi dasar Pemaje yang masih hidup dalam budaya kami,” ujar Lasmianto Dadak, seniman dan budayawan Lombok Utara, Minggu ( 29/6 )


Tiga fungsi utama Pemaje, menurut Dadak, menjadi cerminan nilai-nilai luhur masyarakat Sasak:


Meraut — Mengajarkan manusia untuk memangkas ego, membersihkan kesombongan, dan membentuk diri menjadi pribadi yang jernih dan terarah.


Menghaluskan — Menjadi simbol perlunya melembutkan hati, menyempurnakan sikap, dan memperhalus tutur kata dalam menjalin relasi sosial.


Melubangi — Menggambarkan keberanian membuka ruang dan kemungkinan baru dalam hidup; menjadi pribadi yang terbuka dan berani menembus keterbatasan.


Dalam filsafat Sasak, Pemaje menjadi metafora yang hidup. Bukan hanya tentang ketajaman fungsional, tetapi tentang ketajaman moral dan intelektual.


Kini, Pemaje tidak lagi sekadar alat dapur atau pertukangan. Ia telah bertransformasi menjadi simbol adat dalam berbagai upacara sakral, terutama dalam pernikahan tradisional. Diselipkan di pinggang mempelai pria, Pemaje menjelma lambang tanggung jawab, kedewasaan, dan kemampuan mengelola kehidupan rumah tangga.


“Pemaje itu kecil, tapi mengandung nilai-nilai besar yang justru semakin langka dalam kehidupan modern. Ia mengajarkan bahwa membentuk pribadi bukan soal cepat, tapi soal ketekunan,” tambah Dadak.


Fenomena ini menegaskan bahwa masyarakat Sasak tidak kehilangan akar. Justru dalam kesederhanaan Pemaje, mereka menemukan kembali arah—bahwa budaya tidak harus bising, tapi harus berakar.


Di tengah era visual dan budaya instan, Pemaje menawarkan perlawanan yang sunyi tapi tegas. Ia tidak memukau dengan kilau, tapi menggetarkan dengan makna. Filosofi yang terkandung dalamnya mengajarkan bahwa menjadi manusia bukanlah soal membungkus diri dengan kemegahan, tetapi tentang membentuk isi dengan kesadaran dan etika.


Dadak bahkan mengusulkan agar Pemaje masuk dalam kurikulum budaya di sekolah-sekolah sebagai instrumen pendidikan karakter:


“Kalau sekolah-sekolah kita mulai mengenalkan Pemaje tidak hanya sebagai benda, tapi sebagai filosofi hidup, saya yakin kita tidak hanya membangun anak-anak cerdas, tapi juga beretika dan berjiwa kuat.”


Dalam pusaran globalisasi, Pemaje hadir sebagai penanda bahwa lokalitas bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Bahwa dari benda sekecil ini, lahir kebijaksanaan yang tak lekang oleh zaman. Ia bukan hanya milik masyarakat Sasak, tapi juga warisan Nusantara—pisau kecil yang mengukir karakter besar. ( Red )

0 Komentar


Advertisement

Type and hit Enter to search

Close