Lombok Utara | insightnusantara.com - Gunung Rinjani tidak lagi sekadar tujuan pendakian. Di tengah gelombang wisatawan yang terus meningkat pasca pandemi, masyarakat Adat Bayan mengambil sikap: menegakkan kembali Menyembek sebagai ritual sakral yang kini menjadi protokol wajib bagi pendaki jalur Senaru. Tradisi yang sempat terpinggirkan ini kembali ke panggung utama—bukan sebagai simbol, tetapi sebagai sistem nilai.
Langkah ini bukan sekadar penegasan identitas budaya. Bagi masyarakat adat, Menyembek adalah protokol spiritual yang tak terpisahkan dari perjalanan ke Rinjani. Ia mengandung nilai penghormatan terhadap alam, leluhur, dan keseimbangan semesta.
“Gunung Rinjani bukan ruang kosong. Di sana ada leluhur, ada kehidupan yang tidak selalu terlihat mata. Maka sebelum masuk, seorang pendaki wajib Menyembek—mohon restu, mohon keselamatan,” kata Nikrana, Pemekel Adat Bayan, Pada Rabu ( 2/7 )
Berdasarkan data resmi dari Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) Resort Senaru, jumlah pendaki terus meningkat sejak pandemi mereda. Tahun 2023 tercatat 3.798 orang, dan melonjak tajam menjadi 7.035 pendaki pada 2024. Hingga 29 Juni 2025, angka sementara sudah mencapai 3.149 orang.
“Jumlah pendaki pasca COVID-19 cenderung meningkat. Puncaknya terjadi di tahun 2024,” jelas perwakilan TNGR Resort Senaru.
Lonjakan ini menjadi kabar baik sekaligus peringatan. Di satu sisi, ia menandai pemulihan sektor pariwisata. Di sisi lain, tekanan terhadap kawasan konservasi dan warisan budaya menjadi isu serius. Karena itu, penegasan kembali peran adat menjadi langkah strategis yang tak hanya simbolik, tetapi juga fungsional.
Ritual Menyembek sejatinya telah lama menjadi bagian dari tata nilai masyarakat Adat Bayan. Dalam prosesi tersebut, pendaki menjalani upacara penyucian secara simbolik, mengenakan pakaian adat, dan diberi tanda sirih pinang di dahi oleh pemangku adat sebagai bentuk permohonan keselamatan.
“Dulu Menyembek adalah pintu masuk ke gunung. Tapi sejak Rinjani dikelola secara nasional, adat hanya jadi pelengkap. Sekarang kami kembalikan lagi, karena adat bukan pelengkap. Ia penjaga martabat,” kata Nikrana.
Masyarakat mencatat bahwa sejak Menyembek kembali diberlakukan secara konsisten, tidak terjadi kecelakaan besar di jalur Senaru. Ini memperkuat keyakinan bahwa hukum adat bekerja bukan hanya secara sosial, tapi juga spiritual dan ekologis.
Langkah masyarakat Adat Bayan ini mendapat respons positif dari pihak TNGR. Dalam berbagai kesempatan, TNGR menyatakan bahwa kolaborasi dengan pranata adat merupakan bagian penting dari pendekatan konservasi berbasis kearifan lokal.
“Kami menyambut baik partisipasi masyarakat adat. Konservasi tidak hanya berbicara soal batas wilayah, tetapi juga nilai-nilai yang hidup di dalamnya,” ujar sumber dari TNGR.
Di sisi lain, masyarakat adat juga tidak memaksakan pemahaman spiritual mereka kepada para wisatawan. Mereka memilih pendekatan edukatif—melalui sosialisasi, bimbingan langsung, dan informasi berbasis budaya.
“Kami tidak marah pada orang yang belum tahu. Tapi kami tidak bisa diam jika adat dianggap sepele. Menyembek bukan penghalang wisata. Justru penjaga nilainya,” tegas Nikrana.
Rinjani kini menjadi lebih dari sekadar tujuan pendakian. Bagi yang memulainya dari jalur Senaru, setiap langkah adalah bagian dari kesadaran kolektif: bahwa gunung bukan hanya medan, tetapi juga ruang suci.
Dengan diterapkannya kembali Menyembek sebagai kewajiban budaya, pendakian kini menjadi perjalanan yang lebih utuh—perpaduan antara fisik, spiritual, dan kultural.
“Kami menjaga gunung bukan hanya dari sampah dan kerusakan. Kami juga menjaga dari hal-hal tak kasat mata. Sebab Rinjani, bagi kami, bukan hanya tanah. Ia adalah jiwa,” tutup Nikrana. ( Wiswa )
0 Komentar